Kasihan si Mas teman Anda tadi. Saya pernah 23 tahun
jadi wartawan, yang kayak begitu selalu terjejal di
depan mata. Lantas saya bayangkan, andai saya jadi
petinggi media, tak terelakkan juga dengan
kompromi-kompromi sepertti itu.
Makan ati? Nggak juga. Karena hati nurani masih
sedikit tersisa, kadang mengingatkan juga. Saya raa,
di semua profesi, hal-hal yang tidak ideal ini pasti
terjadi. Jangan deh profesi jurnalis seolah didewakan
dan harus ideal. Meski tampil sebagai jurnalis
pelacur, sangat memalukan juga.
Berdoa, berdoa deh. Moga pasar media nggak sesempit
sekarang, sehingga pemasukan industri media nggak
melulu dari iklan atau rekanan. Tapi murni dari publik
pembacanya.
htm
--- iwansucijatmiko <iwansucijatmiko@
> Hampir lima tahun tak bersua, akhirnya saya bertemu
> dengan seorang
> kawan lama di kereta api saat perjalanan pulang dari
> Purworejo-Jakarta. Nostalgia pun mewarnai pertemuan
> kami saat itu.
> Saling mengenalkan anak-istri kami, tukar kartu
> nama, basa-basi, dll.
> Di tengah perbincangan tiba2 sebuah ucapan
> mengejutkan terlontar dari
> mulut kawan tsb. "Saya Sudah Lelah Jadi Wartawan
> Wan," katanya.
> "Gila!," pikir saya dalam hati. Ada apa gerangan
> dengan kawan saya
> ini? Padahal dia sudah eksis di dunia tulis menulis
> sejak awal tahun
> 90-an. Saya pun tahu betul semangat kawan ini, dan
> bagaimana dia mampu
> menjelajah dari desk yang satu ke desk lainnya,
> semua dilahapnya.
> Multi tasking banget!
>
> Perbincangan semakin memanas hingga akhirnya kami
> memutuskan
> melanjutkan obrolan di sambungan gerbong kereta.
> Spot paling ciamik
> untuk melanjutkan obrolan berpadu dengan
> berbatang-batang rokok.
> Intinya, profesi kuli tinta yang dulu dibanggakannya
> kini tak lagi
> memberikan kepuasan batiniah-nya (kalau materil
> memang sudah tidak
> berharap). Banyak hal yang diungkapkannya sehingga
> membuat saya
> berpikir keras. Ceritanya pun beragam.
>
> Kira2 seperti ini penggalannya:
>
> "Ketika saya di desk ekonomi, saya harus tunduk
> dengan kebijakan
> redaksi karena salah satu komisaris duduk di bangku
> empuk DPR. Saya
> harus menyulap artikel demi mulusnya kebijakan
> konco2 si komisaris
> itu. Dan bodohnya hal itu saya lakukan demi susu dan
> sembako untuk
> keluarga. Berdosa saya!"
>
> "Saya juga pernah di desk politik. Orangnya
> berengsek semua! hampir
> tiap artikel adalah "pesanan" biar proyek jalan
> terus. Tapi namanya
> kuli ya mau nggak mau harus dijalani. Padahal waktu
> itu saya sudah
> jadi redaktur. Tetap nggak berkutik!"
>
> "Ketika pindah di desk hiburan, sama saja! jilat
> sana-sini! Harus
> kreatif bikin isu / gosip murahan demi menaikan
> pamor artis dungu yang
> notabene pernah "dilahap" oleh bos-bos di lingkaran
> setan media saya,"
>
> "Pernah juga pegang desk Polri-TNI & Pengadilan.
> Parah banget!
> artikel-nya mirip rilis dari Humas. Maniiiis
> bangeeeet...
> petinggi di instansi tsb juga kawan baik dari bos2
> di media. Asu tenan!"
>
> "Ketika di desk teknologi, lebih parah! saya sering
> berantem sama
> orang marketing karena harus bikin artikel "melacur"
> demi menarik
> klien supaya pasang iklan. Harus me-review produk
> bobrok disulap jadi
> produk hi-tech non cacat. Artikel tengik berkedok
> "advertorial" itu
> pun berlumur dosa, dan saya salah satu yang terlibat
> di dalamnya.
> Bedebah!"
>
> "Hampir semua desk kebentur dengan masalah yang
> sama. Mulai dari desk
> olahraga, metro wilayah, korespondesi, kesehatan,
> properti, dll.
> Semuanya dipasung!"
>
> "Hampir tiap artikel yang saya garap hingga saat ini
> adalah bad news.
> tapi di media, bad news is a good news! itu sudah
> hukum alam. Nyawa
> manusia yang melayang, tragedi kemanusiaan,
> pembunuhan, pembantaian,
> konflik berdarah, fitnah, bentrok demonstrasi, dll
> adalah santapan
> utama yang jadi prioritas! Kenapa bukan good news
> dalam artian
> sebenarnya yang jadi prioritas? sulit memang, media
> kita ini belum
> dewasa dan makin kapitalis! kalau mau idealis
> berhenti aja jadi wartawan!"
>
> Perkataan terakhirnya itu pun saya tanyakan balik
> kepada kawan tsb.
> "Lho kenapa mas sekarang masih jadi wartawan?" tanya
> saya. "Saya jadi
> wartawan seperti mati suri, mau ditinggalkan tapi
> sudah terlanjur
> jatuh cinta. Plus bulannnya (gaji) lumayan untuk
> tambah dapur biar
> ngebul. Tapi saya tidak bergantung penuh kepada
> profesi ini. Beruntung
> istri saya kerja di perusahaan swasta, dan punya
> usaha sendiri
> walaupun masih kelas kaki lima," katanya.
>
> Astaga! pertemuan dengan kawan tersebut benar2
> membuka mata saya yang
> notabene masih hijau di profesi ini. Saya memang
> baru sekitar enam
> tahun lebih menggeluti profesi ini. Fenomena yang
> dialami kawan tsb
> sama persis dengan apa yang dialami saya dan pada
> wartawan pada
> umumnya. Tapi rasa sensitif saya tak pernah sampai
> ke situ. Kadang
> iya, kadang tidak. Lebih banyak tidak-nya. Boro2
> mikirin sensitif,
> mikirin deadline saja sudah pusing!
>
> Mungkinkah saya akan berakhir seperti dirinya?
> apakah saya harus siap2
> banting setir? ah, namanya juga godaan, bisa datang
> dari kanan-kiri.
>
> Wahai kawan, jika engkau membaca postingan ini. Aku
> menyesal bertemu
> denganmu! Menyesal kenapa baru sekarang kita
> bertemu. Aku senang
> bertemu denganmu! Senang karena cerita pengalamanmu
> sedikit menyuapi
> otakku yang sudah lama lupa ditelan deadline.
>
>
> Salam
> ISJ
> "Buruh Tukang Ketik Biasa"
>
> www.iwansucijatmiko
>
>
>
>
>
>
>
>
____________
Looking for last minute shopping deals?
Find them fast with Yahoo! Search. http://tools.
http://groups.yahoo.com/group/mediacare/
Blog:
http://mediacare.blogspot.com
http://www.mediacare.biz
Earn your degree in as few as 2 years - Advance your career with an AS, BS, MS degree - College-Finder.net.

Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar