Kolom IBRAHIM ISA
*Senin, 31 Desember 2007*
Nasion ini telah lahir, tegak, bangkit, bergerak maju, dan akhirnya
berhasil mencapai kemerdekaan nasional. Semua itu, tak lain tak bukan
--- adalah berkat perjuangan bersama, berkat susah payah berjangka lama
yang diderita rakyat , penuh pengorbanan, oleh semua lapisan masyarakat,
oleh pelbagai aliran politik yang hidup berjuang dinegeri kita,
ditujukan untuk mengakhiri kolonialisme dan imperialisme, untuk menyetop
kekuasaan dan pemerasan kekuatan asing terhadap negeri kita.
Dalam dekade terakhir ini, telah berlangsung perjuangan sengit untuk
merealisasi tuntutan Reformasi, Demokratisasi dan pemberlakukan HAM.
Kekuatan-kekuatan demokratis dan progresif nasional berjuang melawan
pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia yang dilakukan oleh
Orba, (i.e. pembantaian masal 1965 terhadap warganegara yang tak
bersalah). Telah berlangsung pula pelbagai usaha dan kegiatan melawan
usaha arus-balik, yang hendak menyeret kembali bangsa dan negeri ini, ke
kekuasan dan suasana politik serta kultur Orba yang bergelimang dengan
korupsi, kolusi dan nepotisme. Suatu kultur usang yang memerosotkan
kearifan manusia serta membodohkan kemampuan bangsa untuk berfikir bebas
mandiri. Sebagai hasil dari gerakan Reformasi telah dicapai hasil-hasil
penting dalam perjuangan pemberlakuan hak-hak demokrasi.
Namun, hasil-hasil yang dicapai tsb masih jauh dari harapan dan tuntutan
seperti yang tercantum dalam program Reformasi yang dikumandangkan pada
saat-saat menggeloranya gerakan massa yang telah menggulingkan rezim Orba.
Sejak digulingkannya Orba secara formal, kekuatan nasional, demokratis
dan maju menuntut diakhirinya 'impunity' serta ditegakkanya supremasi
hukum dan diakhirinya dominasi militer di bidang politik dan ekonomi.
Serta diajukannya tuntatn adil untuk diadiliniya para pelanggar HAM
terbesar pada awal rezim Orba. Telah diajukan terus-menerus tuntutan
untuk direhabilitasinya nama baik, kehormatan, hak-hak politik dan
hak-hak kewarganegaraan semua korban pelanggaran HAM oleh Orba. Rakyat
menuntut ditangani dan diadilinya semua pelanggaran hukum dan HAM sejak
awal berdirinya Orba, pada tahun-tahun 1965-1966-1967, pelanggaran HAM
di Aceh, Papua, Maluku, Kalimantan, Sulawesi, Sumatra Selatan, kasus Mei
1998 (Jakarta), kasus Tanjung Priok, kasus 'Petrus' dan serentetan
pelanggaran HAM dan hukum lainnya.
* * *
Pada saat kita memasuki tahun ke-10 periode Reformasi, akhir 2007 ini,
pantaslah kita bertanya pada diri sendiri: --
Adakah kemajuan dalam usaha melaksanakan tuntutan-tutntuan Reformasi dan
Demokratisasi, sejak diakhirinya secara formal rezim militeris-otoriter
dan anti-demokratis Orde Baru di bawah Presiden Suharto pada tahun 1998?
Bukankah masa Reformasi sudah berlangsung hampir 10 tahun.
Bukankah merupakan kewajiban setiap patriot Indonesia, setiap parpol,
stiap organisasi masyarakat maupun lembaga-lembaga studi dan peneliti
peduli bangsa, untuk dengan berdikari melakukan pemikiran kembali,
menarik pelajaran yang amat diperlukan dari priode Reformasi ini, dan
membuat kesimpulan-kesimpul
Reformasi dan Demokratisasi, untuk maju terus. Agar mampu mengatasi
setiap kendala dan kesulitan pada jalan yang sedang ditempuh.
* * *
Satu Nusa dan Satu Bangsa, dari Sabang sampai Merauké.
Namun, lihatlah betapa bedanya kesan 'orang-oarng awak sendiri' --
'orang kita sendiri', mengenai negeri yang indah dan kaya raya ini.
Alangkah berbeda-bedanya penilaian orang mengenai negeri cantik, serta
rakyatnya yang rajin dan ulet!
Bagaimana orang menilai, bagaimana terkesan dalam fikiran masing-masing,
keadaan negeri dan rakyat kita dewasa ini, bagaimana nasib peri
kehidupan mayoritas rakyat kita, berapa banyak dari bangsa kita yang
masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bagaimana keadaan ekonomi
nasional, bagaimana keadaan kesehatan rakyat, pendidikan dan perumahan
wong cilik? Bagaimana yang berwewenang dan bertanggungjawab mengatasi
penderitaan rakyat yang tak putus-putusnya dilanda bencana alam:
Tsunami, Gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lumpur Lapindo, dsb!
Dan . . . . . bagaimana pula sikonnya, keadaannya penguas. Kadang-kadang
kumerasa aras-arasan menggunakan kata 'penguasa'. Karena kata penguasa,
di kalangan tertentu, khususnya yang riil memegang kekuasaan di pelbagai
bidang dari akar rumput sampai ke puncaknya --- merasa risih --kok
dibilang penguasa. Nyatanya sesungguhnya mereka itu berkuasa.
Dipertanyakan masyrakat, bagaimana prestasi pemerintahannya, yang
dikepalai oleh seorang Presiden yang langsung dipilih oleh pemilih.
Bagaimana pula DPR -nya, Lembaga Hukum dan Pengadilannya. Berbagai fihak
tidak sama mencerminkan keadaan-keadaani itu dalam fikiran mereka. Lain
kedudukan, lain pencerminannya. Lain golongan golongan, lain pula
tanggapannya. Lain pula yang disoroti dan yang diugnkapkannya.
* * *
BETULKAH NEGERI KITA 'LAIN' TERBANDING PAKISTAN?
Sebagai contoh. Coba simak pendapat seorang pimpinan utama partai yang
berkuasa di negeri kita, yaitu Partai Demokrat. Dalam usahanya agar para
politisi Indonesia tidak was-was, jangan-jangan nasibnya bisa seperti
mantan PM Pakistan Benazir Butho (dibunuh), Ketua DPP Partai Demokrat,
Anas Urbaningrum membuat suatu pernyataan. Dikatakannya , bahwa kultur
politik di Indonesia beda dengan Pakistan. Ditegaskannya --- 'Pakistan
memiliki tradisi kekerasan, berbeda dengan kita' (29/12/07).
Di sini ketua Partai Demokrat itu bukan saja kebablasan dalam memberikan
tanggapannya, tetapi juga , dan ini lebih parah lagi, ia telah membuat
penilaian yang TERAMAT KELIRU!
Seakan-akan tertutup mata hati Ketua Partai Demokrat itu. Seakan-akan ia
tidak tau samasekali, bahwa rezim Orde Baru di bawah pimpinan Jendral
Suharto, adalah suatu rezim yang muncul di atas mayat ratusan bahkan
jutaan korban pembantaian rakyat yang tudak bersalah, yang dipicu oleh
fihak militer di bawah Jendral Suharto. Adalah pada saat itu di
Indonesia, dimulai kultur kekerasan militer secara besar-besaran.
Bagaimana prosedur dan proses Presiden Sukarno disingkirkan dari
jabatannya. Siapa tidak tau bahwa, beliau, tanpa proses hukum apapun,
dikenakan tahanan rumah, seratus persen disekat dari dunia luar, tanpa
boleh berhubungan dengan siapapun, kecuali keluarganya, sampai akhir
umur beliau. Bukankah itu suatu manifestasi dari kekerasan militer
seperti yang diderita sekarang ini oleh Aung San Syuki dari Birma?
Kemudian, siapakah yang tidak tau mengenai pulau pembuangan Pulau Buru?
Bahwa di situ puluhan ribu warganegara yang tanpa tuduhan, tanpa proses
pengadilan disekap sepuluh tahun lebih? Belum lagi peristiwa Tanjung
Priok, kasus Aceh, Papua, Maluku dan Peristwa Mei 1998 di Jakarta?
Bukankah kasus-kasus itu semuanya adalah manifestasi dari suatu kultur
dan politik kekerasan yang dilakukan oleh penguasa?
* * *
Mari ambil satu kasus lagi. Tentang kemiskinan rakyat kita. Seberapa
banyak kemajuan yang diperoleh negeri ini dalam mengurangi kemiskinan
rakyat. Kalangan elite yang turut mempersoalkan masalah kemiskinan
rakyat kita, ramai berdebat mengenai berapa sebenarnyua angka kemiskinan
itu. Pers Indonesia yang menjadi bosan dan muak dengan perdebatan
penguasa dan elite yang tak menentu tsb, sampai menulis, bahwa
mungkinlah yang diperdebatkan elite mengenai kemiskinan itu, bukan
TURUNNYA ANGKA KEMISKINAN tetapi adalah mengenai KEMISKINAN YANG TURUN
TEMURUN dari bangsa kita.
Meskipun pemerintah mengumukan bahwa ada kemajuan di bidang pertumbuhan
ekonomi nasional; nyatanya keadaan peri kehidupan rakyat kita masih
payah, masih susah. Penyebabnya? Baik ikuti komentar Gus Dur, mantan
Presiden RI, baru-baru ini, mengenai keadaan ekonomi kita.
Gus Dur menandaskan bahwa, Indonesia kehilangan orientasi pembangunan
nasional. Akibatnya, rakyat tidak percaya pada pemerintah yang berkuasa
saat ini. Orientasi pembangunan kita nggak jelas. Selama ini,
pembangunan ditujukan untuk kalangan atas. Akibatnya, jumlah rakyat
miskin bertambah dan pengangguran tetap tinggi. Pemerintahan SBY didikte
oleh super power. Sama seperti pemerintahan orde baru yaitu pembangunan
untuk kalangan atas saja. Yang kaya, tambah kaya. Yang melarat, tambah
melarat. Hilangnya orientasi pembangunan, tak lepas dari pengaruh Bank
Dunia, Dana Moneter Internasional, dan Organisasi Perdagangan Dunia.
Selama ini, tiga organisasi dunia itu memaksa Indonesia berutang
Sehingga, nilai utang luar negeri saat ini mencapai US$ 600 miliar.
Bahkan, ada pihak yang berpendapat nilai utang luar negeri Indonesia
mencapai US$ 1,3 triliun. "Pemerintah lupa bahwa yang harus membayar utang
adalah anak cucu kita". Demikian uraian Gus Dur (Sumber: Catatan A. Umar
Said, 31 Des 07).
* * *
Sebelum menutup akhir tahun 2007, perhatikan perkembangan sekitar
penanganan kasus korupsi di Indonesia. Pemerintah SBY menyatakan
dicapainya kemajuan di bidang penanganan kasus korupsi.
Namun suatu keajaiban telah terjadi:
YANG TERGUGAT MENGGUGAT. SI KORUPTOR MENUNTUT KEADILAN dan fihak
Kejaksaan Indonesia membenarkan tututan koruptor terbesar di Indonesia,
mantan Presiden Suharto. Begini kasus kongkritnya.
Seperti ditulis oleh International Herlad Tribune, 30 des 2007, beberapa
bulan yl pengadilan Indonesia memerintahkan kepada Time Magazine untuk
membayar kepada mantan diktator tsb sejumlah US$ 111 juta. Kasus antara
Time Magazine dengan Jendral Suharto adalah berkenaan dengan sebuah
cover-story edisi Asia dari Time, yang memberitakan bahwa keluarga
Suharto telah mengumpulkan kekayaan (haram) kira-kira US$ 15 milyar,
termasuk US$ 9 milyar di bank Austria. Atas pemberitaan ini mantan
Presiden Suharto menggugat Time Magazine. Ia mengatakan bahwa berita
Time tsb menggambarkan mantan orang kuat tsb sebagai seseorang yang
rakus dan tamak. Pengadilan Indonesia memerintahkan kepada Time untuk
minta maaf kepada Suharto dan membayar uang denda sebesar US$ 111 juta itu.
Cobalah pembaca fikirkan kasus Suharto dengan Time Magazine tsb. Memang
kasus bahwa koruptor terbesar di Indonesia, mantan Presiden Suharto,
berhasil menggungat sebuah majalah asing yang mengungkap praktek
korupsinya, benar-benar terjadi di Indonesia. Sang koruptor terbesar
Indonesia malah, berkat sikap pengadilan Indonesia, akan memperoleh uang
ganti rugi, karena nama baiknya, katanya telah dirusak.
Kalau begini ceritanya: Bagaimana bisa dikatakan bahwa ada kemajuan
dalam usaha pemberantasan korupsi di Ind0onesia.
* * *
Beberapa contoh dan kasus yang diungkapkan di atas kiranya sudah bisa
menunjukkan bahwa tuntutan-tuntutan gerakan Reformasi dan Demokratisasi,
masih jauh dari terrealisasi di negeri kita.
Memasuki tahun 2008, jalan terbaik adalah meneruskan usaha dan kegiatan
dengan keberanian dan keuletan yang lebih besar lagi, untuk merealisasi
semua tuntutan-tuntutan demokratis dan HAM yang dikumandangkan oleh
Gerakan Reformasi sepuluh tahun yang lalu.
* * *
http://groups.yahoo.com/group/mediacare/
Blog:
http://mediacare.blogspot.com
http://www.mediacare.biz
Earn your degree in as few as 2 years - Advance your career with an AS, BS, MS degree - College-Finder.net.

Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar